Islam dan Jeratan Utang
oleh Dzaki Hafids Nur Ardianto
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh
“innal hamda lillaah nahmaduhu wa nasta’iinuhu wanastagh6iruh, wa na’uudzu billahi min suruuri anfusinaa wa min sayyiaati a’maalinaa man yahdihillaahu falaa mudhilla lah, wa man yudhlilhu falaa haadiya lah. Asyhadu allaa ilaaha illallah, wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhuu wa rosuuluh”.
“Robbisyroh lii shodrii, wa yassirlii amrii, wahlul ‘uqdatam mil lisaani yafqohu qoulii.”
“Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku.” (QS. Thaha ayat 25-28).
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang membalas doa hamba-hamba-Nya, apabila kita selalu berdoa dan selalu mengingat-Nya.
Pertama-tama marilah kita selalu memanjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah Subhanahu wata’ala atas segala limpahan rahmat dan karunianya, sehingga kita selalu berada dalam keadaan sehat wala6iat dan tercukupkan segala nikmat dan rezeki kita.
Shalawat serta salam tak lupa mari kita junjung tinggi kepada Baginda Nabi Muhammad
S.A.W. bersama para shahabatnya dan, para tabiut tabiin, serta generasi terbaik pendahulu kita para salafush shalih yang di mana kita nantikan kelak syafaatnya di yaumul akhir.
Saudara saudariku yang dirahmati Allah
Perjalanan hidup tentunya penuh dengan lika liku tersendiri. Salah satu aspek yang sangat penting dalam menunjang keberlangsungan hidup bagi seorang manusia adalah persoalan mengenai keuangan. Tidak berlebihan jika uang merupakan salah satu hal yang tidak akan dapat terpisahkan dalam kehidupan sehari hari. Berbagai macam cara yang haq dapat dilakukan oleh seseorang dalam memperoleh uang, seperti dengan bekerja, termasuk berdagang, maharta warisan, hibah atau pemberian dari pihak lain, dan berutang.
Saudara saudariku yang dirahmati Allah
Kita mungkin sudah familiar atau sering mendengar bahwa masyarakat kita begitu mudahnya dalam berutang, entah itu untuk keperluan produktif maupun untuk keperluan konsumtif. Keperluan berutang dalam ranah produktif pada umumnya akan digunakan untuk modal usaha maupun sejenisnya yang di mana mereka melakukan hal tersebut secara berkelanjutan. Sedangkan utang konsumtif pada umumnya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat memenuhi hasrat atau tuntutan diri yang seringkali hal tersebut sejatinya tidak terlalu perlu dilakukan, seperti orang berutang untuk kepentingan membuat pesta pernikahan yang mewah, berutang untuk membeli barang barang branded yang mahal, dan sejenisnya. Beberapa hal tersebut sejatinya hanyalah untuk memenuhi tuntutan sosial maupun eksistensi diri. Akibat dari perbuatannya tersebut tentunya akan dirasakan baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Saudara saudariku yang dirahmati Allah
Kita seharusnya paham dan mengerti, bahwa berutang itu sejatinya tidak mengenakkan hidup. Kita juga bisa membayangkan hidup kita menjadi tidak tenang, tidur dan istirahat kita juga menjadi tidak tenang apabila utang itu sudah menumpuk terlalu banyak. Ada kasus yang lebih parah jika kita berutang sampai dikejar kejar oleh debt collector atau pihak penagih utang.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jiwa seorang mukmin masih bergantung dengan utangnya hingga dia melunasinya.” (HR. Tirmidzi no. 1078 dan Ibnu Majah no. 2413. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Tafsir hadits dari Asy Syaukani berkata, “Hadits ini sebagai dorongan agar ahli waris segera melunasi utang si mayit. Hadits ini sebagai berita bagi mereka bahwa status orang yang berutang masih menggantung disebabkan oleh utangnya sampai utang tersebut lunas. Ancaman dalam hadits ini ditujukan bagi orang yang memiliki harta untuk melunasi utangnya lantas ia tidak melunasinya. Sedangkan orang yang tidak memiliki harta dan sudah bertekad ingin melunasi utangnya, maka ia akan mendapat pertolongan Allah untuk memutihkan utangnya tadi sebagaimana hal ini diterangkan dalam beberapa hadits.
Saudara saudariku yang dirahmati Allah
Tafsir hadits tersebut dapat kita tarik beberapa hal yang sangat berkaitan dengan perilaku dan sikap kita dalam menghadapi utang. Hal yang sangat penting kita garis bawahi yaitu, utang akan dibawa sampai mati. Kita bisa membayangkan, bagaimana jika kita di dunia telah terjerat utang dimana mana dan ternyata sampai kita dipanggil
kehadiratnya kita masih membawa beban utang, maka tentunya kita akan merasa sengsara, baik di dunia maupun di akhirat.
Rasulullah S.A.W bersabda, “Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih punya utang, maka kelak (di hari kiamat) tidak ada dinar dan dirham untuk melunasinya. Namun yang ada hanyalah kebaikan atau keburukan (untuk melunasinya)” (HR. Ibnu Majah no. 2414)
Untuk itu, jika kita telah mampu untuk melunasi utang-utang kita, maka segeralah lakukan dan jangan sekali kali untuk menunda nunda. InsyaAllah, jika kita ada niat dan usaha yang kuat untuk melakukan pelunasan utang, maka Allah akan memudahkan dan membuka jalan kita untuk melunasinya.
Saudara saudariku yang dirahmati Allah
Selain dari hadits tersebut, masih banyak bahaya maupun akibat dari jeratan utang seorang hamba. Beberapa bahaya maupun akibat tersebut dapat berupa sebagai berikut:
– Utang akan membuat kita mudah berdusta
Sesungguhnya seseorang yang biasa berutang, jika dia berbicara dia akan berdusta, jika dia berjanji dia akan mengingkarinya’” (HR. Bukhari no. 832 dan Muslim no. 1325).
Ibnu Mulaqqin Rahimahullah menjelaskan, “Berutang yang Nabi berlindung darinya, adalah utang yang tidak disukai oleh Allah karena (sejak awal) tidak ada kemampuan untuk membayarnya. Atau utang yang tidak bisa dibayar sehingga membuat harta saudaranya binasa. Atau orang yang berutang mampu membayar, namun dia berniat untuk tidak melunasinya, sehingga dia termasuk orang yang bermaksiat kepada Allah dan menzalimi dirinya sendiri” (At Taudhih li Syarhil Jami’ Ash Shahih, 15: 423).
– Utang yang sengaja kita tunda pelunasannya adalah bentuk kezaliman
“Penundaan pelunasan utang oleh orang yang mampu adalah sebuah kezaliman, maka jika utang kalian ditanggung oleh orang lain yang mampu maka setujuilah” (HR. Bukhari no.2287).
Syaikh As Sa’di Rahimahullah menjelaskan, “Mempersulit penunaian hak orang lain yang wajib ditunaikan adalah sebuah kezaliman. Karena dengan melakukan demikian, maka ia meninggalkan kewajiban untuk berbuat adil. Orang yang mampu wajib untuk bersegera menunaikan hak orang lain yang wajib atasnya. Tanpa harus membuat si pemilik hak tersebut untuk meminta, mengemis atau mengeluh. Orang yang menunda penunaikan hak padahal ia mampu, maka ia orang yang zalim” (Bahjatul Qulubil Abrar, hal.95).
– Pelaku utang yang tidak bersungguh-sungguh untuk melunasinya akan dibangkitkan sebagai pencuri, jika dia syahid maka akan mendapatkan kesulitan, ruh akan terkatung-katung, dan kita bisa terhalangi untuk masuk surga.
Ash Shan’ani Rahimahullah menjelaskan, “Dia akan dibangkitkan dalam rombongan para pencuri dan akan diberi ganjaran sebagaimana yang didapatkan para pencuri. Karena dia berniat untuk tidak melunasi utangnya, sehingga dia menjadi seperti pencuri, bahkan lebih parah lagi. Karena dia telah menipu si pemilik harta” (At Tanwir Syarhu Al Jami’ Ash Shaghir,4:427).
“Semua dosa orang yang mati syahid diampuni kecuali utang” (HR. Muslim no. 1886).
“Ruh seorang mukmin (yang sudah meninggal) terkatung-katung karena utangnya sampai utangnya dilunasi” (HR. At Tirmidzi no. 1079).
“Barang siapa yang ruhnya terpisah dari jasadnya dan dia terbebas dari tiga hal: kesombongan, ghulul (harta khianat), dan utang, maka dia akan masuk surga” (HR. Ibnu Majah no. 1971).
- Bahkan Rasulullah enggan untuk mensalati orang yang masih terjerat utang “Ada seorang laki-laki di antara kami meninggal dunia, lalu kami memandikannya, menutupinya dengan kapas, dan Kemudian kami mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan kami tanyakan, ‘Apakah baginda akan menyalatkannya?’ Beliau melangkah beberapa langkah kemudian bertanya, ‘Apakah ia mempunyai utang?’ Kami menjawab, ‘Dua dinar.’
Lalu beliau kembali. Maka Abu Qatadah menanggung utang tersebut.
Ketika kami mendatanginya, Abu Qotadah berkata, ‘Dua dinar itu menjadi tanggunganku.’ Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Betul- betul Engkau tanggung utang mayit sampai lunas?’ Qatadah mengatakan, ‘Iya betul’. Maka Nabi pun mensalatinya. “(HR. Abu Daud no. 3343).
Saudara saudariku yang dirahmati Allah
Lihatlah betapa mengerikannya akibat dari jeratan utang, baik dari sisi duniawi maupun dari sisi agama. Hal yang lebih mengerikannya lagi adalah terjerat utang riba. Telah jelas turun ayat tentang haram dan mengerikannya riba tersebut.
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, Q.S. Al-Baqarah ayat 275.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan riba, juru tulis transaksi riba dan dua orang saksinya. Kedudukan mereka itu semuanya sama.” (HR. Muslim nomor 2995).
Tidak diragukan lagi bahwasanya riba memiliki bahaya yang sangat besar dan dampak yang sangat merugikan sekaligus sulit untuk dilenyapkan. Tentunya tatkala Islam memerintahkan umatnya untuk menjauhi riba pastilah di sana terkandung suatu hikmah, sebab Islam tidaklah memerintahkan manusia untuk melakukan sesuatu melainkan di sana terkandung sesuatu yang dapat menghantarkannya kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat. Demikian pula sebaliknya, bila syari’at ini melarang akan sesuatu, tentulah sesuatu tersebut mengandung kerusakan dan berbagai keburukan yang dapat menghantarkan manusia kepada kerugian di dunia dan akhirat.
Kita dapat melihat contoh nyata, bagaimana sengsaranya kehidupan manusia tatkala terjerat utang riba, misal si A mengajukan pinjaman sebesar Rp10.000.000, namun yang dia terima hanya sejumlah Rp9.000.000, dan mengerikannya dia harus melunasinya sejumlah Rp15.000.000 dalam tempo waktu yang sesingkat singkatnya.
Saudara saudariku yang dirahmati Allah
Akan tetapi, kita tidak boleh berpatah semangat, karena setiap permasalahan, InsyaAllah akan ada jalan keluarnya. Dalam hal melunasi jeratan utang, khususnya utang riba, maka ada beberapa cara yang dapat kita amalkan.
– Pertama, tentunya kita harus bertaubat dari dosa Riba dengan taubat nasuha
Allah Ber6irman dalam QS. At Tahrim ayat 8, “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).”
– Kedua, Kita dapat memperbanyak istighfar, karena memohon ampun kepada Allah adalah jalan agar kita dimudahkan rezekinya
Allah ta’ala ber6irman dalam quran surah Nuh ayat 10 sampai 12. “Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai- sungai.”
– Ketiga, Tentunya kita harus lebih giat untuk bekerja
Rasulullah s.a.w bersabda “Ketika hamba berada di setiap pagi, ada dua malaikat yang turun dan berdoa, “Ya Allah berikanlah ganti pada yang gemar berinfak (rajin memberi na6kah pada keluarga).” Malaikat yang lain berdoa, “Ya Allah, berikanlah kebangkrutan bagi yang enggan bersedekah (memberi na6kah).” (HR. Bukhari no. 1442 dan Muslim no. 1010)
Kita bisa menjual ataupun menawarkan barang barang yang kita miliki untuk melunasi utang tersebut, disinilah kita diuji, apakah kita rela/mampu untuk melepaskan aset kita demi terlepas dari jeratan Rasulullah bersabda, “Allah
akan bersama (memberi pertolongan pada) orang yang berutang (yang ingin melunasi utangnya) sampai dia melunasi utang tersebut selama utang tersebut bukanlah sesuatu yang dilarang oleh Allah.” (HR. Ibnu Majah no. 2400).
– Kemudian, kita dapat bersikap hidup lebih sederhana dan qana’ah
Dengan bersikap hidup sederhana tatkala terlilit utang, maka kita tentunya akan dapat mengurangi jumlah pengeluaran dan akhirnya lebih memprioritaskan pada pelunasan utang. Sifat qana’ah yaitu merasa cukup dan benar-benar bersyukur dengan rezeki yang Allah berikan, sungguh akan mendatangkan kebaikan.
Dari ’Abdullah bin ’Amr bin Al ’Ash, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh beruntung orang yang diberi petunjuk dalam Islam, diberi rizki yang cukup, dan qana’ah (merasa cukup) dengan rizki tersebut.” (HR. Ibnu Majah no. 4138)
– Dan jangan lupakan berdoa seperti yang dicontohkan oleh Rasul, seperti do’a agar tidak terlilit utang,
Allahumma inni a’udzu bika minal ma’tsami wal maghrom [Artinya: Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari berbuat dosa dan sulitnya utang] (HR. HR. Bukhari no. 2397 dan Muslim no. 589).
Saudara saudariku yang dirahmati Allah
Berutang merupakan hal yang memang diperbolehkan dalam Islam, asalkan kita harus berusaha untuk tidak melibatkan riba di dalamnya. Marilah, kita harus selalu bersyukur atas rezeki yang kita peroleh dan segala sesuatu janganlah bersikap berlebihan, termasuk dalam mengejar dunia dan segala tipu dayanya. Ingatlah bahwa hidup di dunia hanyalah sementara. Kita hanyalah musa6ir yang numpang lewat yang sedang menuju pada kampung halaman sejati kita, yaitu Jannah
Saudara saudariku yang dirahmati Allah
Terimakasih atas atensi yang telah diberikan saat mendengarkan dakwah dari kami, segala kurangnya dari kami mohon maaf dan segala lebih hanyalah dari Allah semata. Akhirul kalam, wallahu a’lam bi sawwab,
Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakaatuh